Sejarah dan asal usul Gunung Srandil, Gunung Selok, Gunung Kembar, dan Gunung Tumpeng, Cilacap, Jawa Tengah. Bagaimana awal mula terciptanya gunung-gunung tersebut? Pada artikel ini akan dijelaskan secara lengkap. Selamat membaca.
Dahulu kala, di puncak Gunung Slamet ada seorang ksatria yang bertapa. Ksatria itu bernama Bima. Dia sangat perkasa, ibarat berotot kawat dan bertulang baja. Walaupun
demikian, dia berwatak lugu dan jujur.
Bima |
Gunung Slamet |
Apa yang ada di hatinya akan dikeluarkan apa adanya, hijau dikatakan hijau, merah akan dikatakan merah. Namun, ada yang selalu disimpannya, yaitu amarah. Bima tidak mudah marah. Itulah satu-satunya yang dapat ia simpan dalam hatinya.
Ki Drona |
Suatu hari, ketika masa bertapanya baru saja selesai, dia kedatangan kakek tua bernama Ki Drona. Singkat cerita, Bima marah besar karena mendengar cerita dari Ki Drona bahwa dia adalah anak jadah, alias anak tidak punya bapak.
Sebenarnya, Bima sudah paham kalau Ki Drona itu pembual alias tukang bohong. Akan tetapi, mengapa Bima marah? Ya, karena Ki Drona terus menerus berbicara tanpa dapat dihentikan. Jadi, Bima marah karena sebel harus mendengar cerita yang menjelek-jelekan orang tuanya, terutama ibundanya. Baginya kehormatan ibu harus dijaga dan dibela hingga titik darah penghabisan.
Bima diam, jantungnya bergemuruh, tangannya mengepal, otot-ototnya mulai mengencang, lalu dia berdiri menghampiri Ki Drona yang terus mengoceh bagai burung kelaparan.
“Hai, Ki Drona. Dapat berhenti bicara apa tidak?” gertak Bima.
Ki Drona yang mengenali Bima tidak pernah marah, santai menjawab sambil tertawa terkekeh-kekeh, “He he dikandani ra per-caya, diberi tahu kok tidak percaya kamu, Bima?”
“Kamu itu cuma anak seorang ibu, bapakmu nggak jelas!”
Bima menggeram bagai harimau mau menerkam mangsanya, “Hemm dapat diam tidak, hai kakek jelek?”
Dasar Ki Drona, dia malah merasa senang dapat membuat Bima marah. Dia tertawa terkekeh-kekeh, “He he Bima, Bima....”
Mendengar Ki Drona terus tertawa, kemarahan Bima yang sudah tertahan sekian lama, menggumpal bagai bola api yang siap meledak, dan benar saja, sambil menggertak, “Diam!” Dia menendang puncak Gunung Slamet yang berdiri kokoh di hadapannya.
“Braakk!” bersamaan itu terdengar suara gemuruh dan terpentallah sebagian puncak Gunung Slamet ke arah selatan.
Desa Pedasong
Ilustrasi Ki & Ni Supa |
Suatu hari saat fajar baru menyingsing di ufuk timur, Ni Supa membangunkan Ki Supa dengan suara pelan, “Ki, bangun Ki. Hari sudah pagi, temani Nini pergi ke sumur yuk,” sambil menjinjing cepon (semacam bakul yang terbuat dari anyaman bambu) berisi beras untuk dipususi (dicuci).
Ki Supa segera bangun, dan segera menemani Ni Supa yang akan pergi ke sumur, yang terletak agak jauh dari rumahnya. Tugas Ki Supa adalah menemani dan menimbakan air untuk mencuci beras. Mereka berjalan beriringan. Sungguh sebuah pemandangan dan kerja sama yang indah. Sambil menimba air, Ki Supa melantunkan tembang berbahasa Jawa tentunya.
Jago kluruk rame kapiarsi,
Lawa lawong luru pandhelikan,
Jrih kalawan ing semune,
Wetan bang sulakipun mertandhani yen bangun enjing.....
Di tengah-tengah keasyikan Ki Supa melantunkan tembang, tiba-tiba ada benda semacam batu raksasa melayang dan hampir jatuh menimpa mereka. Dengan spontan, Ki Supa berteriak, “Awas Nini!” Sambil tangannya mendorong Ni Supa, hingga terjatuh, dan beras yang ada di cepon pun wutah (tumpah).
Sementara itu, kaki Ki Supa menendang benda raksasa tersebut dengan sekuat tenaga sambil mengucap, “Duh Gusti!”
Benda semacam batu raksasa itu pecah menjadi beberapa bagian dan terpental ke arah selatan. Namun, ada pecahan batu sebesar kerbau yang tertinggal di dekat sumur Ki Supa. Di kemudian hari, batu itu digunakan untuk batu nisan, tanda kuburan bagi Ki dan Ni Supa.
Karena Ki dan Ni Supa dianggap sebagai leluhur atau orang pertama yang trukah dan tinggal di tempat itu, kuburan tersebut kemudian dikenal orang dengan nama “Panembahan Waktu Kumpul”. Grumbul tempat Ki Supa tinggal diberi nama Grumbul Beras Wutah.
Bagaimana kelanjutan pecahan benda raksasa yang terpental ke arah selatan? Ternyata benda raksasa itu pecah menjadi empat bagian. Yang terbesar, jatuh di pinggir laut selatan, di Desa Karangbenda. Benda itu jatuh menyerong dari selatan ke arah barat daya. Ketika benda itu jatuh, orang-orang yang tengah berkumpul, sedang memanen padi di sawah, berteriak, “Awas selok!” Selok maksudnya sela (bahasa jawa yang berarti ‘batu’).
Gunung Selok |
Sekarang tempat tersebut dikenal orang dengan nama Gunung Selok.
Dua pecahan yang berukuran hampir sama, tetapi lebih kecil dari selok, jatuh secara bersebelahan berjajar di Desa Glempangpasir, sebelah timur Selok. Yang satu dinamakan Gunung Kembar karena memang bentuk dan ukurannya hampir sama dengan gunung yang satunya, yakni Gunung Srandil.
Pecahan yang terakhir jatuh adalah pecahan yang paling kecil ukurannya. Pecahan itu jatuh di sebelah timur, tepat di samping gunung Selok. Karena bentuknya seperti tumpeng, nasi yang dibentuk seperti kerucut, biasanya untuk kenduri/selamatan, Pecahan itu diberi nama Gunung Tumpeng.
Dari keempat gunung, yang sebenarnya hanyalah bukit ini, yang paling terkenal adalah Gunung Srandil. Konon nama Srandil berasal dari kata Sranane Adil (bahasa Jawa) yang artinya ‘syaratnya harus adil’.
Ki Ismoyo Jati / Semar |
Pada sisi lain, ada yang mengatakan bahwa Srandil berasal dari kata sarana dan adil. Yang dimaksudkan adalah tempat untuk meminta keadilan. Banyak orang dari berbagai daerah, yang merasa diperlakukan tidak adil dalam kehidupannya datang ke Srandil dengan membawa berbagai masalah untuk mencari jalan keluar. Ada yang datang untuk menenangkan jiwa, ada yang datang untuk minta jodoh, ada yang datang karena usahanya bangkrut, bahkan ada yang datang minta kaya! Mereka datang dari berbagai kalangan dan agama.
Kata mereka, mereka tetap meminta pada Tuhan, tetapi entahlah. Itu urusan kepercayaan masing-masing.
Di Srandil terdapat beberapa tempat untuk bersemadi, baik di bawah maupun di atas bukit. Ada yang berupa gua-gua kecil, ada yang berujud pelataran, dan ada yang konon merupakan makam para leluhur. Untuk mengadakan persemadian dan sebagainya, biasanya akan dipandu oleh seorang juru kunci yang mereka pilih sendiri (karena jumlahnya banyak) dan dengan membawa sesaji.
Konon katanya, banyak para pejabat dan pengusaha yang datang ke Srandil. Mereka tentu datang dengan sedikit malu-malu, sehingga mereka datang dengan cara menyamar. Mengapa demikian? Ya, bag aimanapun kita hidup di negara yang punya agama, yang memerintahkan agar kita hanya menyembah dan hanya meminta pada Tuhan saja.
Namun, tidak dapat dipungkiri, mereka juga masih punya “naluri kejawen” yang percaya pada hal-hal seperti itu. Apakah mereka berhasil meraih keinginannya? Walahualam bisawab.
Lokasi Gunung Srandil, Adipala, Cilacap, Jawa Tengah
Sekarang, Srandil dan sekitarnya, yang terletak di Desa Glempangpasir, Kecamatan Adipala, dijadikan sebagai tempat wisata religi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Cilacap.
Copyright: Cerita Rakyat.
Penerbit:
Balai Bahasa Jawa Tengah
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
0 Komentar